Senin, 11 Juni 2012

Tulisan ( HAK MEREK)


HAK MEREK

Tuntutan untuk Direktur Tossa Ditunda

KENDAL -Sidang pidana di PN Kendal dengan agenda tuntutan jaksa terhadap Direktur PT Tossa Shakti, Cheng Sen Djiang, Selasa lalu ditunda sampai waktu yang belum ditentukan. Jaksa yang menangani perkara itu, R Adi Wibowo SH, saat ditanya alasan penundaan, hanya mengatakan, petunjuk dari atasan belum turun. 

   "Rencana tuntutan yang kita ajukan ke atas belum turun," kata dia. 
Ini adalah penundaan kali kedua. Mestinya tuntutan dijadwalkan 6 Maret, namun ditunda sampai 20 Maret (Selasa lalu-Red). Tetapi ternyata pada hari itu pun sidang belum bisa dilaksanakan. Padahal pihak pengadilan sudah mengagendakan dan menuliskannya di papan jadwal sidang.

Menyikapi penundaan sidang itu, Doddy Leonardo Joseph, legal officer PT Astra Honda Motor (AHM) Jakarta selaku pelapor, menyatakan kekecewaannya. Dia khusus datang dari Jakarta untuk memantau perkembangan perkara tersebut. 

  Cheng dilaporkan terkait dengan dua jenis produk PT Tossa Shakti (TS), yaitu motor Krisma 125 dan Supra X, yang model maupun namanya persis produk AHM. Krisma 125, sebelumnya juga bernama Karisma 125 (sama persis dengan Honda Karisma 125-Red), tapi kemudian diubah setelah disomasi oleh AHM. Terdakwa dituduh menggunakan hak cipta milik orang lain. 

Keterangan Beda :
   Dody mengaku tertarik mengikuti sidang karena ada keterangan Cheng yang berbeda, dengan saat Tossa menggugat PT AHM di Pengadilan Niaga Jakarta 16 Februari 2005. Saat itu dia mengatakan, nama Krisma -yang merupakan ubahan dari Karisma- diambil dari nama anaknya Krisma Wulandari Warsita, dengan akta kelahiran No. 3137/TP/2005. 

  Di tingkat MA Tossa kalah. MA menyatakan, Tossa dengan tanpa hak telah menggunakan merek Karisma, yang memiliki persamaan dengan merek terkenal milik AHM. Perusahaan itu juga diperintahkan untuk menghentikan produksi dan peredaran barangnya. 

  Namun saat disidang pidana di PN Kendal dia mengaku, nama Karisma, Krisma, maupun Supra itu berasal dari Nanjing Textile, produsen komponen motor di Cina. Sedangkan Tossa hanya merakit dan memasang segala sesuatu yang telah ada. 

   Kuasa hukum Tossa, Agus Nurudin SH, belum bisa dihubungi. Tetapi saat ditemui sebelumnya dia mengatakan, PT AHM tak memiliki disain industri sepeda motor Karisma maupun Supra. Karena itu dia merasa yakin bisa mematahkan dakwaan jaksa. (C23- 16) 

Analisis :
 Dalam masalah ini Doddy Leonardo Joseph selaku PT Officer PT Astra Honda Motor melaporkan tindak pelanggaran hak merk yang dilakukan oleh Cheng Sen Djiang selaku Direktur PT Tossa Shakti yang memakai nama yang sama dengan produk miliknya yaitu nama Karisma yang kemudian diganti namanya menjadi Krisma setelah mendapatkan somasi dari PT AHM. Dalam persidangan PT Tossa Shakti sendiri memakai alasan yang berbeda, pada Pengadilan Niaga Jakarta, dia mengatakan bahwa nama Krisma yang merupakan ubahan dari Karisma- diambil dari nama anaknya Krisma Wulandari Warsita. 
      Sedangkan dalam sidang pidana di PN Kendal dia mengaku bahwa nama itu berasal dari Nanjing Textile, produsen komponen motor di Cina. Sedangkan Tossa hanya merakit dan memasang segala sesuatu yang telah ada. Dan akhirnya  ditingkat  MA Tossa kalah. MA menyatakan, Tossa dengan tanpa hak telah menggunakan merek Karisma, yang memiliki persamaan dengan merek terkenal milik AHM.

Jumat, 08 Juni 2012

Tugas Softskill (Perlindungan Konsumen)



PERLINDUNGAN KONSUMEN


  • Pengertian Konsumen
  • Asas dan Tujuan Konsumen
  • Hak dan Kewajiban Konsumen
  • Hak dan Kewajiban Pelaku usaha
  • Perbuatan yang Dilarang Oleh Pelaku Usaha
  • Tanggung Jawab Pelaku Usaha
  • Sanksi Pelaku Usaha

  • Pengertian Konsumen
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Jika tujuan pembelian produk tersebut untuk dijual kembali, maka dia disebut pengecer atau distributor. Pada masa sekarang ini bukan suatu rahasia lagi bahwa sebenarnya konsumen adalah raja sebenarnya, oleh karena itu produsen yang memiliki prinsip holistic marketing sudah seharusnya memperhatikan semua yang menjadi hak-hak konsumen .

  • Asas dan Tujuan Konsumen
Sebelumnya telah disebutkan bahwa tujuan dari UU PK adalah melindungi kepentingan konsumen, dan di satu sisi menjadi pecut bagi pelaku usaha untuk meningkatkan kualitasnya. Lebih lengkapnya Pasal 3 UU PK menyebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah:

1.     Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen  untuk melindungi diri

2.     Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa
3.     Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen

4.     Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi


5.     Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha

6.     Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen


Asas-asas yang dianut dalam hukum perlindungan konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 UU PK adalah:

1.    Asas manfaat
Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UU PK harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya.

2.    Asas keadilan
Penerapan asas ini dapat dilihat di Pasal 4 – 7 UU PK yang mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara seimbang.

3.    Asas keseimbangan
Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih dilindungi.

4.    Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Diharapkan penerapan UU PK akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5.    Asas kepastian hukum
Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum








  • Hak dan Kewajiban Konsumen
Hak-hak Konsumen
Sesuai dengan Pasal 4 Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK), Hak-hak Konsumen adalah :

1.    Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

2.    Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

3.    Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

4.    Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

5.    Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6.    Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

7.    Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

8.    Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi/penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

9.    Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya

Kewajiban Konsumen
Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah :

1.    Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

2.    Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

3.    Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

4.    Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

  • Hak dan Kewajiban Pelaku usaha
Seperti halnya konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:

1.    hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

2.    hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

3.    hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

4.    hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

5.    hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Sedangkan kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 UUPK adalah:

1.    beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

2.    memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

3.    memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

4.    menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

5.    memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

6.    memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

7.    memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Bila diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen. Ini berarti hak bagi konsumen adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Demikian pula dengan kewajiban konsumen merupakan hak yang akan diterima pelaku usaha. Bila dibandingkan dengan ketentuan umum di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tampak bahwa pengaturan UUPK lebih spesifik. Karena di UUPK pelaku usaha selain harus melakukan kegiatan usaha dengan itikad baik, ia juga harus mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif, tanpa persaingan yang curang antar pelaku usaha.

  • Perbuatan yang Dilarang Oleh Pelaku Usaha
perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran. Ketentuan ini diatur di Pasal 9 – 16. Pada Pasal 9 pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklan-kan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah:

1.    barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;

2.    barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;

3.    barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu;

4.    barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;

5.    barang dan/atau jasa tersebut tersedia;

6.    barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;

7.    barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;

8.    barang tersebut berasal dari daerah tertentu;

9.    secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;

10. menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap;

11. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

Kemudian pada Pasal 10 ditentukan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:

1.    harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;

2.    kegunaan suatu barang dan/atau jasa;

3.    kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;

4.    tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;

5.    bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.

  • Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Tanggung Jawab Pelaku Usaha

Tanggung gugat produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat dari produk yang cacat, bisa dikarenakan kekurang cermatan dalam memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan/jaminan atau kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha.
Didalam Pasal 27 disebutkan hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila:

a. Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk diedarkan,

b. Cacat barang timbul pada kemudian hari,

c. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang,

d. Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen,

e. Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan.
 







  • Sanksi Pelaku Usaha
Sanksi-sanksi Pelaku Usaha
Sanksi Bagi Pelaku Usaha Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Sanksi Perdata :
Ganti rugi dalam bentuk :
o Pengembalian uang atau
o Penggantian barang atau
o Perawatan kesehatan, dan/atau
o Pemberian santunan

Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
Sanksi Administrasi :
maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25

Sanksi Pidana :
Kurungan :
o Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18
o Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f


Sumber: 

Selasa, 03 April 2012

Contoh Kasus Hukum

Nama: Suranta Efraim Zhons Shethevans
Kelas: 2EB22
NPM: 26210744

Contoh Kasus Hukum Dagang


Walaupun pelanggaran atas merk tersebut merupakan delik aduan dan sampai waktu yang cukup lama pemilik dari perusahaan GUCCI yang asli belum melakukan penuntutan, pemalsuan merk yang dilakukan Pak Dodi tersebut harus dihentikan. Seharusnya Pak Dodi berkreasi membuat merek sendiri dan kemudiaan menggunakannya untuk produk yang mereka hasilkan. Dalam pembuatan atau pemberian merek tentunya Pak Dodi harus mengikuti aturan, tidak sembarang menggunakan merek. Merek tidak dapat didaftar apabila Merek tersebut mengandung salah satu unsur di bawah ini: • bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum; • tidak memiliki daya pembeda • telah menjadi milik umum • merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan Masalah yang timbul dalam kasus telaah topik 12 mengenai Hukum Dagang yaitu Pak Dodi yang menggunakan merek terdaftar milik orang lain tanpa izin dan mencantumkannya dalam barang produksinya. Lebih jelas Pak Dodi menggunakan merek GUCCI pada produk usaha tas dan sepatunya, padahal seperti yang telah diketahui mayarakat umum bahwa GUCCI adalah merek ternama yang sudah terdaftar dan memproduksi barang-barang dari kuit hewan (tas, sepatu). Dari masalah tersebut Pak Dodi sudah jelas melanggar Pasal 90 Undang-undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa pemberian merek terhadap barang produksi dengan memperhatikan norma dn hukum yang berlaku sangatlah penting.


Contoh Kasus Hukum Perikatan


Akta Jual Beli Tanah Dinilai Cacat Hukum

- Akta jual beli tanah Jayenggaten dari ahli waris Tasripien kepada pemilik Hotel Gumaya, dinilai cacat hukum. Akta yang disahkan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) itu menyebutkan, tanah seluas 5.440 m2 di Kampung Jayenggaten beserta bangunan yang berdiri di atasnya dijual oleh Aisyiah, ahli waris Tasripien, kepada Hendra Soegiarto, pemilik Hotel Gumaya.

Padahal, menurut Guru Besar Fakultas Hukum Unika Soegijapranata, Prof Dr Agnes Widanti SH CN, sejak puluhan tahun lalu warga hanya menyewa lahan; sedangkan bangunan rumah yang ada di kampung tersebut didirikan oleh warga.”Sejak 1995, ahli waris Tasripien tidak pernah mengambil uang sewa tanah. Sebelumnya, sistem pembayaran sewa dilakukan secara ambilan, bukan setoran. Karenanya, warga dianggap tidak membayar,” kata Agnes dalam pertemuan membahas kasus sengketa Jayenggaten, di Balai Kota, Selasa (6/9).

Baik dalam kasus perdata maupun pidana, Pengadilan Negeri Semarang menyatakan warga bersalah. Tak puas dengan amar putusan tersebut, warga Jayenggaten mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Hingga hari ini belum ada putusan MA atas kasus tersebut.

Diskusi pakar hukum yang difasilitasi Desk Program 100 Hari itu, menghadirkan sejumlah pakar hukum. Selain Agnes, hadir pula pakar sosiologi hukum Undip, Prof Dr Satjipto Rahardjo SH, pakar hukum tata negara Undip, Arief Hidayat SH MH, dan pakar hukum agraria Unissula, Dr Ali Mansyur SH CN MH.

Arief Hidayat menilai, ada fakta yang disembunyikan oleh notaris PPAT. Jika bangunan benar-benar milik warga, maka ahli waris Tasripien tidak berhak menjual bangunan itu kepada orang lain.

”Jika benar demikian, notaris PPAT yang mengurus akta jual-beli itu bisa diajukan ke PTUN. Sebagai pejabat negara, PPAT dapat digugat ke pengadilan tata usaha negara,” ujarnya.

Hukum Dagang (TUGAS 3B)

Nama: Suranta Efraim Zhons Shethevans
Kelas: 2EB22
NPM: 26210744


HUKUM DAGANG

Perkumpulan-perkumpulan Dagang

1. Persekutuan (Maatschap) : suatu bentuk kerjasama dan siatur dalam KUHS tiap anggota persekutuan hanya dapat mengikatkan dirinya sendiri kepada orang-oranglain. Dengan lain perkataan ia tidak dapat bertindak dengan mengatas namakan persekutuan kecuali jika ia diberi kuasa. Karena itu persekutuan bukan suatu pribadi hukum atau badan hukum.

2. Perseraoan Firma : suatu bentuk perkumpulan dagang yang peraturannya terdapat dalam KUHD (Ps 16) yang merupakan suatu perusahaan dengan memakai nama bersama. Dalam perseroan firma tiap persero (firma) berhak melakukan pengurusan dan bertindak keluar atas nama perseroan.

3. Perseroan Komanditer (Ps 19 KUHD) : suatu bentuk perusahaan dimana ada sebagian persero yang duduk dalam pimpinan selaku pengurus dan ada sebagian persero yang tidak turut campur dalam kepengurusan (komanditaris/ berdiri dibelakang layar)

4. Perseroan Terbatas (Ps 36 KUHD) : perusahaan yang modalnya terbagi atas suatu jumlah surat saham atau sero yang lazimnya disediakan untuk orang yang hendak turut.

¨ Arti kata Terbatas, ditujukan pada tanggung jawab/ resiko para pesero/ pemegang saham, yang hanya terbatas pada harga surat sero yang mereka ambil.

¨ PT harus didirikan dngan suatu akte notaris

¨ PT bertindak keluar dengan perantaraan pengurusnya, yang terdiri dari seorang atau beberapa orang direktur yang diangkat oleh rapat pemegang saham.

¨ PT adalah suatu badan hukum yang mempunyai kekayaan tersendiri, terlepas dari kekayaan pada pesero atau pengurusnya.

¨ Suatu PT oleh undang-undang dinyatakan dalam keadaan likwidasi jika para pemegang saham setuju untuk tidak memperpanjang waktu pendiriannya dan dinyatakan hapus jika PT tesebutmenderita rugi melebihi 75% dari jumlah modalnya.

5. Koperasi : suatu bentuk kerjasama yang dapat dipakai dalam lapangan perdagangan

Diatur diluar KUHD dalam berbagai peraturan :

a. Dalam Stb 1933/ 108 yang berlaku untuk semua golongan penduduk.

b. Dalam stb 1927/91 yang berlaku khusus untuk bangsa Indonesia

c. Dalam UU no. 79 tahun 1958

¨ Keanggotaannya bersifat sangat pribadi, jadi tidak dapat diganti/ diambil alih oleh orang lain.

¨ Berasaskan gotong royong

¨ Merupakan badan hukum

¨ Didirikan dengan suatu akte dan harus mendapat izin dari menteri Koperasi.

6. Badan-badan Usaha Milik Negara (UU no 9/ 1969)

a. Berbentuk Persero : tunduk pada KUHD (stb 1847/ 237 Jo PP No. 12/ 1969)

b. Berbentuk Perjan : tunduk pada KUHS/ BW (stb 1927/ 419)

c. Berbentuk Perum : tunduk pada UU no. 19 (Perpu tahun 1960)

Hukum Perikatan (TUGAS 3A)

Nama: Suranta Efraim Zhons Shethevans
Kelas: 2EB22
NPM: 26210744


Hukum Perikatan


Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi di antara dua orang (pihak) atau lebih, yakni pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi, begitu juga sebaliknya.

Perjanjian adalah peristiwa di mana pihak yang satu berjanji kepada pihak yang lain untuk melaksanakan suatu hal. Dari perjanjian ini maka timbullah suatu peristiwa berupa hubungan hukum antara kedua belah pihak. Hubungan hukum ini yang dinamakan dengan perikatan.

Dengan kata lain, hubungan perikatan dengan perjanjian adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan. Perjanjian merupakan salah satu sumber yang paling banyak menimbulkan perikatan, karena hukum perjanjian menganut sistim terbuka. Oleh karena itu, setiap anggota masyarakat bebas untuk mengadakan perjanjian.

Dasar Hukum Perikatan

Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :

  1. Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
  2. Perikatan yang timbul dari undang-undang.
  3. Perikatan terjadi bukan perjanjian.

Asas-Asas dalam Hukum Perikatan

Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut asas kebebasan berkontrak dan asas konsensualisme.

  1. Asas kebebasan kontrak

Asas kebebasan berkontrak yaitu bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan demikian, cara ini dikatakan system terbuka, artinya bahwa dalam membuat perjanjian ini para pihak diperkenankan untuk menentukan isi dari perjanjiannya dan sebagai undang-undang bagi mereka sendiri, dengan pembatasan perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan ketentuan undang-undang, ketertiban umum, dan norma kesusilaan.

2. Asas konsensualisme

Asas konsesualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, asas konsesualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, cakap untuk menbuat suatu perjanjian, mengenai suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal.

Wansprestasi

Sementara itu, wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan, misalnya ia (alpa) atau ingkar janji.

Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :

  1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
  2. Melaksanakan apa yand dijanjikannua, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan.
  3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.
  4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Selasa, 13 Maret 2012

Minimnya perlindungan hukum dan rendahnya upah (TULISAN)

Nama: Suranta Efraim Zhons Shethevans
Kelas: 2EB22
NPM: 26210744


Minimnya perlindungan hukum dan rendahnya upah

Dalam kamus modern serikat buruh, hanya ada dua cara melindungi buruh yaitu;

Pertama, melalui undang-undang perburuhan. MeIalui undang-undang buruh akan
terlindungi secara hukum, mulai dari jaminan negara memberikan pekerjaan yang layak,
melindunginya di tempat kerja (kesehatan dan keselamatan kerja dan upah layak) sampai
dengan pemberian jaminan sosial setelah pensiun.

Kedua, melalui serikat buruh. Sekalipun undang-undang perburuhan bagus, tetapi buruh
tetap memerlukan kehadiran serikat buruh untuk pembuatan Perjanjian Kerja Bersama
(PKB ). PKB adalah sebuah dokumen perjanjian bersama antara majikan dan buruh yang
berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Hanya melalui serikat buruhlah – bukan
melalui LSM ataupun partai politik – bisa berunding untuk mendapatkan hak-hak
tambahan (di luar ketentuan UU) untuk menambah kesejahteraan mereka.

Negara-negara industri maju telah membuktikan bahwa kedua instrumen di atas
telah mengurangi kesenjangan kaya – miskin, dan sekaligus mengurangi potensi
kemarahan sosial. Tetapi apa yang terjadi di Indonesia, perlindungan undang-undang
terhadap buruh sangat rendah. Lihatlah sistem peradilan perburuhan kita yang tidak
memberikan kemungkinan buruh menang dalam proses peradilan yang panjang (mulai
dari bipartit, perantaraan, P4D, P4P, PTUN, Mahkamah Agung, Peninjauan Kembali, dan
masalah eksekusi). Dalam pengalaman saya 12 tahun sebagai aktifis perburuhan, hanya
satu kali kasus SBSI menang di tingkat MA, kasus yang masuk ke PTUN semuanya
kalah. Dan ribuan kasus yang masuk ke tingkat P4P hampir 90% kalah dan dimenangkan
pengusaha. Buruh sebenamya tidak percaya lagi dengan lembaga peradilan ini, tetapi
karena tidak ada pilihan lain, sekalipun harus kalah, tetapi mereka memilih kalah
terhormat daripada harus menerima PHK semena-mena. Ditambah lagi dengan program
Jamsostek yang tidak memberikan manfaat banyak terhadap buruh, karena di samping
status usahanya profit oriented, pemerintah bahkan ikut-ikutan mengambil dana deviden
dari keuntungan Jamsostek. Sehingga buruh hanya menerima rata-rataRp 2,5 juta setelah
pensiun umur 55 tahun. Tentu saja jumlah ini tidak mencukupi kebutuhan buruh pasca
kerja. Itulah sebabnya banyak pensiunan buruh jatuh dalam kemiskinan tragis, sebab
bahkan saat bekerja saja hidupnya sudah berada pada level subsisten, setelah pensiun
akan lebih tragis lagi. Semua kenyataan ketidakadilan ini bisa dilihat dan diketahui semua
politisi dan pemerintah. tetapi tidak ada satupun partai yang membuat hak inisiatif dalam
merubah UU peradilan perburuhan dan sistem jaminan sosial ketenagakerjaan.

Otonomi daerah telah menghadirkan skenario lebih buruk terhadap buruh, sebab
tidak ada efektif lagi pengawasan Depnaker pusat. Semua daerah berlomba memperluas
retribusi baik legal maupun ilegal untuk menambah APBD, tidak perduli apa dampaknya
terhadap semakin berkurangnya minat investor beroperasi di daerah itu. Ada retribusi
perpanjangan ijin IKTA, pungutan mendapatkan kartu kuning, ijin penyimpangan waktu
kerja, biaya pendaftaran PKB, dan sebagainya, yang kesemuanya menggambarkan
kaburnya visi pemerintah daerah terhadap pengembangan perekonomian.
Solusi

Mengingat masalah ketenagakerjaan sudah terlanjur rumit, maka tidak ada jalan
lain bagi pemerintah untuk segera membuat langkah-langkah serius sebagai berikut:

- Segera mereformasi badan peradilan perselisihan perburuhan, sehingga
dimungkinkan buruh mendapat pelayanan yang adil. Lembaga peradilan buruh itu
harus bersih, cepat, proses sederhana, biayanya murah dan ada limit waktu
(usulan SBSI maksimum 120 hari). Bentuk P4D dan P4P dan mekanisme
tambahan ke PTUN sebaiknya harus ditiadakan. Ada berbagai model peradilan
buruh di berbagai negara yang bisa diambil sebagai contoh.

- Harus ada desakan agar anggaran untuk sektor pendidikan dalam APBN
ditingkatkan, sehingga tercipta sistem pendidikan murah dan pengajar yang
dihargai secara layak. Implikasi 40 juta penganggur saat ini akan menjadi beban
Indonesia setidaknya 25 tahun ke depan, sebab hampir semua anak penganggur
ini ditambah dengan anak-anak buruh yang hanya mendapat upah kecil (UMR DKI
Jakarta Rp 637.000.- ), akan terpaksa tidak bisa sekolah atau hanya bisa sekolah
tamat SD saja. Membawa 40 juta orang tidak terdidik pada tahun 2030 hanya akan
menjadi beban besar bagi negeri ini kelak.

- Merubah sistem jaminan sosial ketenagakerjaan, sehingga buruh korban PHK
danburuh pensiunan akan mendapat tunjangan layak dari Jamsostek. Pemerintah
dilarang mengambil keuntungan apapun dari Jamsostek, bahkan sebaliknya.

- Pemerintah yang bertanggungjawab, harus memberikan kontribusi setiap tahun,
sehingga buruh bisa hidup layak. Sistem Jaminan sosial ketenagakerjaan yang
baik akan mengurangi kriminalitas sosial.

- Dalam jangka panjang, untuk menampung tenaga kerja dan perolehan nilai
tambah, pemerintah harus merubah strategi pengembangan industri dari yang
berbasis manufaktur ke sektor andalan (leading sectors) industri kita yaitu dengan
mengembangkan sektor-sektor yang memiliki keunggulan absolute (absolute
comparative advantage).

- Diberikan jaminan penegakan hukum dan kepastian berusaha terhadap investor,
sehingga investor tidak bingung terhadap banyaknya prosedur “tidak resmi” dalam
proses pengurusan usaha, dan biaya-biaya yang tidak tercatat. Faktor inilah
membuat pengusaha enggan berusaha di Indonesi sehingga menyulitkan dalam
menyalurkan tenaga kerja yang melimpah.

- Memfungsikan lembaga bipartit dan tripartit dalam mitra yang sejajar untuk
mengatasi hubungan industrial yang kurang baik, seperti pencegahan pemogokan
melalui perundingan. Lock out, dan mengatasi pengangguran. ILO telah
mengeluarkan istilah “social dialog” untuk mendorong orang lebih suka
berdialog/berunding ketimbang konfrontasi.