Selasa, 13 Maret 2012

Minimnya perlindungan hukum dan rendahnya upah (TULISAN)

Nama: Suranta Efraim Zhons Shethevans
Kelas: 2EB22
NPM: 26210744


Minimnya perlindungan hukum dan rendahnya upah

Dalam kamus modern serikat buruh, hanya ada dua cara melindungi buruh yaitu;

Pertama, melalui undang-undang perburuhan. MeIalui undang-undang buruh akan
terlindungi secara hukum, mulai dari jaminan negara memberikan pekerjaan yang layak,
melindunginya di tempat kerja (kesehatan dan keselamatan kerja dan upah layak) sampai
dengan pemberian jaminan sosial setelah pensiun.

Kedua, melalui serikat buruh. Sekalipun undang-undang perburuhan bagus, tetapi buruh
tetap memerlukan kehadiran serikat buruh untuk pembuatan Perjanjian Kerja Bersama
(PKB ). PKB adalah sebuah dokumen perjanjian bersama antara majikan dan buruh yang
berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Hanya melalui serikat buruhlah – bukan
melalui LSM ataupun partai politik – bisa berunding untuk mendapatkan hak-hak
tambahan (di luar ketentuan UU) untuk menambah kesejahteraan mereka.

Negara-negara industri maju telah membuktikan bahwa kedua instrumen di atas
telah mengurangi kesenjangan kaya – miskin, dan sekaligus mengurangi potensi
kemarahan sosial. Tetapi apa yang terjadi di Indonesia, perlindungan undang-undang
terhadap buruh sangat rendah. Lihatlah sistem peradilan perburuhan kita yang tidak
memberikan kemungkinan buruh menang dalam proses peradilan yang panjang (mulai
dari bipartit, perantaraan, P4D, P4P, PTUN, Mahkamah Agung, Peninjauan Kembali, dan
masalah eksekusi). Dalam pengalaman saya 12 tahun sebagai aktifis perburuhan, hanya
satu kali kasus SBSI menang di tingkat MA, kasus yang masuk ke PTUN semuanya
kalah. Dan ribuan kasus yang masuk ke tingkat P4P hampir 90% kalah dan dimenangkan
pengusaha. Buruh sebenamya tidak percaya lagi dengan lembaga peradilan ini, tetapi
karena tidak ada pilihan lain, sekalipun harus kalah, tetapi mereka memilih kalah
terhormat daripada harus menerima PHK semena-mena. Ditambah lagi dengan program
Jamsostek yang tidak memberikan manfaat banyak terhadap buruh, karena di samping
status usahanya profit oriented, pemerintah bahkan ikut-ikutan mengambil dana deviden
dari keuntungan Jamsostek. Sehingga buruh hanya menerima rata-rataRp 2,5 juta setelah
pensiun umur 55 tahun. Tentu saja jumlah ini tidak mencukupi kebutuhan buruh pasca
kerja. Itulah sebabnya banyak pensiunan buruh jatuh dalam kemiskinan tragis, sebab
bahkan saat bekerja saja hidupnya sudah berada pada level subsisten, setelah pensiun
akan lebih tragis lagi. Semua kenyataan ketidakadilan ini bisa dilihat dan diketahui semua
politisi dan pemerintah. tetapi tidak ada satupun partai yang membuat hak inisiatif dalam
merubah UU peradilan perburuhan dan sistem jaminan sosial ketenagakerjaan.

Otonomi daerah telah menghadirkan skenario lebih buruk terhadap buruh, sebab
tidak ada efektif lagi pengawasan Depnaker pusat. Semua daerah berlomba memperluas
retribusi baik legal maupun ilegal untuk menambah APBD, tidak perduli apa dampaknya
terhadap semakin berkurangnya minat investor beroperasi di daerah itu. Ada retribusi
perpanjangan ijin IKTA, pungutan mendapatkan kartu kuning, ijin penyimpangan waktu
kerja, biaya pendaftaran PKB, dan sebagainya, yang kesemuanya menggambarkan
kaburnya visi pemerintah daerah terhadap pengembangan perekonomian.
Solusi

Mengingat masalah ketenagakerjaan sudah terlanjur rumit, maka tidak ada jalan
lain bagi pemerintah untuk segera membuat langkah-langkah serius sebagai berikut:

- Segera mereformasi badan peradilan perselisihan perburuhan, sehingga
dimungkinkan buruh mendapat pelayanan yang adil. Lembaga peradilan buruh itu
harus bersih, cepat, proses sederhana, biayanya murah dan ada limit waktu
(usulan SBSI maksimum 120 hari). Bentuk P4D dan P4P dan mekanisme
tambahan ke PTUN sebaiknya harus ditiadakan. Ada berbagai model peradilan
buruh di berbagai negara yang bisa diambil sebagai contoh.

- Harus ada desakan agar anggaran untuk sektor pendidikan dalam APBN
ditingkatkan, sehingga tercipta sistem pendidikan murah dan pengajar yang
dihargai secara layak. Implikasi 40 juta penganggur saat ini akan menjadi beban
Indonesia setidaknya 25 tahun ke depan, sebab hampir semua anak penganggur
ini ditambah dengan anak-anak buruh yang hanya mendapat upah kecil (UMR DKI
Jakarta Rp 637.000.- ), akan terpaksa tidak bisa sekolah atau hanya bisa sekolah
tamat SD saja. Membawa 40 juta orang tidak terdidik pada tahun 2030 hanya akan
menjadi beban besar bagi negeri ini kelak.

- Merubah sistem jaminan sosial ketenagakerjaan, sehingga buruh korban PHK
danburuh pensiunan akan mendapat tunjangan layak dari Jamsostek. Pemerintah
dilarang mengambil keuntungan apapun dari Jamsostek, bahkan sebaliknya.

- Pemerintah yang bertanggungjawab, harus memberikan kontribusi setiap tahun,
sehingga buruh bisa hidup layak. Sistem Jaminan sosial ketenagakerjaan yang
baik akan mengurangi kriminalitas sosial.

- Dalam jangka panjang, untuk menampung tenaga kerja dan perolehan nilai
tambah, pemerintah harus merubah strategi pengembangan industri dari yang
berbasis manufaktur ke sektor andalan (leading sectors) industri kita yaitu dengan
mengembangkan sektor-sektor yang memiliki keunggulan absolute (absolute
comparative advantage).

- Diberikan jaminan penegakan hukum dan kepastian berusaha terhadap investor,
sehingga investor tidak bingung terhadap banyaknya prosedur “tidak resmi” dalam
proses pengurusan usaha, dan biaya-biaya yang tidak tercatat. Faktor inilah
membuat pengusaha enggan berusaha di Indonesi sehingga menyulitkan dalam
menyalurkan tenaga kerja yang melimpah.

- Memfungsikan lembaga bipartit dan tripartit dalam mitra yang sejajar untuk
mengatasi hubungan industrial yang kurang baik, seperti pencegahan pemogokan
melalui perundingan. Lock out, dan mengatasi pengangguran. ILO telah
mengeluarkan istilah “social dialog” untuk mendorong orang lebih suka
berdialog/berunding ketimbang konfrontasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar